Friday, January 17, 2025
BerandaPolitikAkankah Prabowo membuat kebijakan luar negeri Indonesia lebih tegas?

Akankah Prabowo membuat kebijakan luar negeri Indonesia lebih tegas?

-

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden menuai kontroversi, sudah mulai bekerja pada 20 Oktober 2024.

Untuk mengawal pemerintahannya, kami menerbitkan #PantauPrabowo edisi khusus yang berisi isu-isu penting hasil pemetaan kami dengan TCID Author Network. Edisi kali ini juga mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan dukungan kepada Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.

Dimulainya rezim Presiden Prabowo Subianto membuka peluang terjadinya perubahan arah kebijakan negara, khususnya politik luar negeri. Di bawah pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo, kebijakan luar negeri Indonesia cenderung lebih “pasif”, dengan fokus pada pembangunan ekonomi dalam negeri dengan sebagian besar delegasi diplomatik internasional diserahkan kepada mantan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Namun, di bawah kepemimpinan Prabowo, pendekatan kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih aktif dan tegas mungkin akan muncul.

Menjabat Menteri Pertahanan sejak 2019, Prabowo menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap urusan internasional. Ia aktif menghadiri forum global seperti Dialog Shangri-La dan menjaga hubungan bilateral dengan para pemimpin dunia, termasuk Presiden Tiongkok Xi Jinping.

Ketimbang mengulangi gaya pragmatis Jokowi, Prabowo kemungkinan besar akan membawa Indonesia berperan lebih besar di kancah internasional, terutama di sejumlah bidang strategis, seperti sikap Indonesia terhadap sengketa Laut Cina Selatan (LCS), posisinya di antara negara-negara besar. dan yang tampaknya diprioritaskan adalah peran Indonesia di ASEAN.

Pragmatisme ala Jokowi

Politik luar negeri Jokowi tetap menjaga sikap hati-hati, sejalan dengan pendekatan “bebas aktif”, pendekatan yang diperkenalkan oleh Bung Hatta pada tahun 1948 dan menjadi ciri khas Indonesia sejak era Suharto. Strategi ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan diplomatik dengan Tiongkok, sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia, dan negara-negara ASEAN tanpa mengorbankan perdamaian dan stabilitas kawasan. Prinsip “bebas-aktif”, yang didasarkan pada non-intervensi dan independensi politik, memungkinkan Indonesia untuk tetap netral – setidaknya tidak memihak secara terbuka.

Presiden Prabowo Subianto (kanan) menyaksikan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Linda Thomas-Greenfield (kiri) menandatangani buku sebelum pertemuan di Istana Negara, Jakarta. Hafidz Mubarak A/Antara Foto

Namun prinsip tersebut juga membuat kebijakan luar negeri Jokowi didorong oleh pragmatisme ekonomi. Diplomasi Down to Earth yang diusung Jokowi lebih fokus pada penguatan hubungan dagang dibandingkan memainkan peran tegas dan multilateral di kancah internasional.

Dalam konteks sengketa LCS misalnya, Jokowi terkesan membatasi Indonesia untuk bertindak agresif dalam sengketa wilayah tersebut. Soal ketegangan antara China dan Taiwan pun, Indonesia tidak menunjukkan sikap tegas.

Kawasan LCS tidak hanya kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas, namun juga merupakan jalur perdagangan maritim yang penting secara global.

Padahal, Indonesia meski bukan aktor sentral dalam sengketa wilayah LCS, namun memiliki kepentingan besar di kawasan tersebut, khususnya di sekitar Laut Natuna yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kepentingan yang dimaksud terutama mencakup kepentingan pertahanan dan ekonomi.

Dalam konteks persaingan global antara dua kekuatan besar – Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok – kebijakan Jokowi juga tidak terkesan agresif. Selama ini Indonesia cenderung fokus membangun kemitraan yang andal dengan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Hal ini wajar mengingat kedua negara merupakan mitra strategis Indonesia.

Ditambah dengan ekspansi ekonomi Tiongkok dan pengaruh inisiatif investasi Belt and Road Initiative (BRI) dalam pembangunan infrastruktur dalam negeri, Indonesia kini berada dalam posisi yang kompleks, sehingga memaksa para pemimpinnya untuk mencari keseimbangan antara menjaga kedaulatan nasional sekaligus memperluas hubungan ekonomi.

Akankah Prabowo lebih agresif?

Prabowo kemungkinan akan mengambil pendekatan yang lebih tegas, terutama melalui peningkatan kapasitas pertahanan. Visi besarnya adalah memprioritaskan keamanan dan pertahanan nasional – yang mencerminkan latar belakang militernya.

Secara khusus, Prabowo telah menekankan pentingnya mempersiapkan Indonesia untuk mengambil peran yang lebih tegas dalam sengketa Laut Cina Selatan dan memperkuat kapasitas pertahanan, seperti menambah platform patroli dan satelit, untuk melindungi kepentingan strategis negara di kawasan terkait.

Selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo hanya mengawasi peningkatan infrastruktur militer di kawasan sebagai respons terhadap meningkatnya tekanan dari Tiongkok. Oleh karena itu, Prabowo mungkin akan mengubah pendekatan tradisionalnya yang lepas tangan menjadi lebih tegas dalam membela kepentingan nasional, sekaligus memaksimalkan manfaat ekonomi.

Dalam lingkup ASEAN, Prabowo kemungkinan akan berusaha memperkuat kepemimpinan Indonesia di kawasan dengan mendorong integrasi ekonomi regional yang lebih kuat. Kebijakan luar negeri yang diusung Prabowo dapat diarahkan untuk menjadikan Indonesia sebagai aktor sentral dalam dinamika geopolitik dan ekonomi di Asia-Pasifik.

Jika dianalisis dari perspektif ekonomi politik internasional (IPE), dalam konteks meningkatnya persaingan AS-Tiongkok, Prabowo kemungkinan akan mencoba memposisikan Indonesia sebagai aktor kunci dalam jalur perdagangan global dan memastikan bahwa proyek-proyek yang dibiayai oleh Tiongkok melalui BRI dan hilirisasi nikel dapat melanjutkan. Namun di saat yang sama, Prabowo akan berusaha menghindari ketergantungan berlebihan pada Beijing.

Presiden terpilih Prabowo Subianto berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Aula Besar Rakyat di Beijing, Tiongkok. (Biro Humas Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan)

Prabowo tampaknya akan memperkenalkan dinamika baru dalam menjaga keseimbangan antara Amerika dan Tiongkok. Prabowo sendiri pernah dikaitkan dengan rezim Soeharto dan memiliki masa lalu yang kontroversial terkait tudingan pelanggaran HAM yang mengakibatkan dirinya dilarang masuk AS selama 20 tahun. Larangan tersebut baru dicabut pada tahun 2019 setelah Jokowi mengangkatnya menjadi Menteri Pertahanan.

Sejarah hubungan yang rumit dengan AS kemungkinan besar akan mempengaruhi sikap Prabowo terhadap Washington. Hal ini kemungkinan akan mendorongnya untuk mengubah kebijakan luar negerinya menjadi lebih pro-Beijing.

Namun, sekali lagi, situasinya menjadi lebih kompleks karena kemitraan strategis Indonesia dengan kedua negara.

Akankah Prabowo bergabung dengan blok BRICS?

Kebijakan non-blok yang lazim di Indonesia kemungkinan akan tetap menjadi prinsip panduan di bawah kepemimpinan Prabowo, namun dengan kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara non-Barat seperti Tiongkok, Rusia, dan Turki.

Prabowo mungkin melihat keselarasan dengan kekuatan-kekuatan yang sedang berkembang ini sebagai jalan yang lebih menguntungkan untuk memperluas pengaruh Indonesia sebagai kekuatan regional dan global.

Baru-baru ini santer diberitakan bahwa Prabowo akan membuka peluang menjajaki keanggotaan BRICS (blok ekonomi berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan).

Melihat Malaysia telah resmi menjadi negara mitra BRICS dan langkah Thailand yang masuk keanggotaan BRICS, bukan tidak mungkin Prabowo akan mempertimbangkan untuk benar-benar bergabung dengan aliansi poros alternatif tersebut.

BRICS memainkan peran yang semakin penting sebagai platform kerja sama yang lebih erat antara negara-negara berkembang, dengan tujuan menantang tatanan ekonomi global yang didominasi oleh negara-negara Barat. Jika Indonesia memutuskan untuk memperdalam hubungan dengan blok ini, maka Indonesia dapat memperkuat otonomi strategisnya dan menjauhkan diri dari struktur kekuasaan yang sangat didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutu Baratnya.

Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo kemungkinan akan lebih menonjol dalam kebijakan dan hubungan luar negeri, baik di kawasan maupun di antara negara-negara besar. Namun, terlihat bahwa Prabowo mempunyai tujuan untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi dan geopolitik, bahkan dengan “memanfaatkan” ketegangan AS-Tiongkok.

Indonesia berada dalam posisi yang unik: Indonesia dapat memperoleh manfaat dari investasi Tiongkok melalui BRI serta inisiatif AS yang bertujuan membangun rantai pasokan global baru, khususnya di sektor teknologi dan manufaktur, serta mendorong partisipasi aktif ASEAN dalam menyelesaikan konflik di kawasan. wilayah.

di sini bisa

disini bisa

Artikel terkait

Tetap Terhubung

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Postingan terbaru kami