Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono secara resmi menyatakan keinginan Indonesia untuk bergabung dalam aliansi ekonomi BRICS Plus, melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kazan-Rusia, Kamis (24/10).
Keinginan tersebut juga disampaikan dalam surat yang diserahkan langsung kepada Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada pertemuan bilateral Indonesia-Rusia. Rusia adalah penggagas BRICS pada tahun 2009.
BRICS merupakan aliansi yang beranggotakan negara-negara ekonomi berkembang yaitu Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Kini, dengan bergabungnya Mesir, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi, namanya berubah menjadi BRICS Plus.
Blok ini bertujuan untuk mendorong kerja sama Selatan-Selatan atau antar negara berkembang di berbagai bidang. Kelompok ini juga sering dianggap sebagai aliansi ekonomi saingan Kelompok 7 (G7).
Sejak pernyataan Sugiono tersebut, proses pengajuan keanggotaan Indonesia resmi dimulai.
Keputusan ini dinilai cukup cepat—hanya berselang beberapa hari setelah Prabowo dilantik sebagai Presiden. Joko “Jokowi” Widodo hingga akhir masa jabatannya bahkan belum memutuskan untuk bergabung dengan BRICS dengan alasan pemerintah perlu mempertimbangkan dan mempertimbangkan berbagai hal.
Menlu RI Sugiono di sela-sela foto bersama dengan perwakilan negara anggota BRICS Plus pada acara BRICS Summit 2024 di Kazan, Rusia. Agensi photohost brics-russia2024.ru
Ternyata pendekatan Prabowo terhadap BRICS cenderung lebih aktif dan jelas, berbeda dengan pendekatan Jokowi yang lebih pasif dan hati-hati.
Jika bergabung dengan BRICS, tentunya Indonesia akan mendapatkan sejumlah keuntungan, seperti terbukanya peluang investasi yang besar. Namun, ada juga dampak yang perlu dikhawatirkan, terutama dalam menjaga hubungan baik dengan negara-negara Barat.
Peluang investasi yang bagus
Jika Indonesia resmi bergabung dengan BRICS Plus, Indonesia akan merasakan dampak positifnya.
Pertama, Indonesia akan mendapatkan akses terhadap peluang investasi baru dari negara-negara BRICS, transfer teknologi, dan pembiayaan pembangunan yang dapat mendukung proyek infrastruktur besar dalam negeri.
Hal ini akan sangat bermanfaat bagi Indonesia yang saat ini membutuhkan investasi sekitar US$430 miliar (Rp 6.763 triliun) sepanjang tahun 2024-2029 untuk mendanai proyek infrastruktur dalam negeri. Pasalnya sejak tahun 2014 BRICS telah mendirikan New Development Bank (NDB) yang telah mendanai lebih dari 96 proyek dengan nilai sekitar $32 miliar (Rp 503 triliun) di negara-negara anggota, serta mulai melibatkan negara-negara di luar BRICS.
Berbeda dengan G7 yang berupaya mempertahankan pengaruhnya dalam perekonomian global dan transaksi antar negara melalui lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia, BRICS fokus menciptakan sistem multipolar untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS – atau yang disebut dengan dolar AS. upaya dedolarisasi. Dengan bergabung dengan BRICS Plus, Indonesia dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap lembaga keuangan yang berorientasi Barat.
Bank Pembangunan Baru BRICS juga disebut lebih fleksibel dalam pembiayaan, tanpa persyaratan ketat yang diberlakukan IMF atau Bank Dunia. Komitmen BRICS dalam mewujudkan dedolarisasi juga dibuktikan dengan terciptanya “Uang Kertas Simbolik BRICS”.
Kedua, bergabungnya BRICS dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin regional, sejalan dengan visi Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan besar di kawasan Selatan. Indonesia dapat memanfaatkan posisinya di BRICS untuk bertindak sebagai mediator antara negara-negara Barat dan non-Barat sehingga meningkatkan daya tawarnya di tingkat global.
Prabowo mungkin membayangkan BRICS sebagai sarana untuk menjadikan Indonesia sebagai pendukung utama tatanan global yang lebih adil dan menjadi perwakilan Asia Tenggara dan dunia Muslim yang lebih luas.
Presiden Tiongkok Xi Jinping (kiri), Presiden Rusia Vladimir Putin (tengah), dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa (kanan), usai sesi foto bersama para pemimpin negara anggota BRICS Plus pada KTT BRICS 2024 di Kazan, Rusia. Agensi photohost brics-russia2024.ru
Jika pemerintahan Prabowo berhasil memanfaatkan sumber daya BRICS, pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan pengaruh diplomatik Indonesia dapat meningkat secara signifikan.
Mengganggu hubungan baik dengan Barat
Namun terdapat beberapa kemungkinan dampak negatif yang perlu diantisipasi Indonesia jika bergabung dengan BRICS.
Pertama, potensi ketergantungan ekonomi terhadap BRICS yang kemudian dapat meningkatkan risiko jika terjadi krisis ekonomi di negara-negara anggotanya. Hal ini disebabkan ketidakstabilan ekonomi yang kerap dialami beberapa negara BRICS. Misalnya, gabungan pendapatan domestik bruto (PDB) negara-negara BRICS dipengaruhi oleh Tiongkok, sehingga fluktuasi perekonomian Tiongkok dapat berdampak langsung pada anggota lainnya.
Kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah potensi ketegangan diplomatik dengan negara-negara Barat, terutama jika keterlibatan Indonesia dalam BRICS dipandang sebagai perubahan sikap politik.
Mengenai masalah geopolitik seperti ketegangan di Asia-Pasifik, G7 mendukung sekutunya, sementara beberapa anggota BRICS, terutama Rusia dan Tiongkok, mengambil posisi berlawanan, menunjukkan persaingan blok yang berdampak signifikan terhadap negara-negara berkembang.
Ke depan, energi dan fokus pemerintah akan sangat mahal, karena harus aktif di berbagai forum multilateral misalnya (OECD). Hal ini dapat membatasi fleksibilitas diplomasi Indonesia.
Ketiga, dan masih berkaitan dengan poin kedua, adalah bagaimana prinsip politik luar negeri bebas aktif Indonesia akan dipertanyakan oleh negara-negara di dunia. Bahkan, dalam Pidato Pelantikan Presiden, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan tetap menjaga politik Indonesia yang bebas aktif dan gerakan non-blok, artinya Indonesia tidak akan berpihak pada pakta militer negara manapun.
Meski yang dimaksud adalah sisi militer, bukan ekonomi, namun keinginan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS masih menimbulkan banyak pertanyaan dan terkesan bertentangan dengan semangat non-blok. Karena bergabungnya BRCIS dapat mempengaruhi hubungan baik dengan negara-negara G7, hal ini tampaknya tidak sejalan dengan misi “Politik Tetangga yang Baik” yang diusung Prabowo yang bertujuan untuk menjaga hubungan baik dengan semua negara.
Pengalaman negara lain dalam BRICS Plus
Arab Saudi memanfaatkan keanggotaan ini untuk mendiversifikasi perekonomiannya dan mengimbangi ketergantungan pada Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang selama ini menjadi sekutu utamanya. Keanggotaan BRICS memberi Saudi akses terhadap opsi pendanaan dan pasar baru di Asia dan Afrika sambil mempertahankan hubungan ekonomi dengan G7.
Sejalan dengan hal tersebut, Mesir dan Ethiopia juga ingin memperkuat akses pasar di negara anggota BRICS dan mendapatkan manfaat dari kemitraan di bidang energi dan infrastruktur.
Para pemimpin dan perwakilan negara anggota BRICS Plus dan negara mitra berpose untuk foto bersama pada KTT BRICS 2024 di Kazan, Rusia. Agensi photohost brics-russia2024.ru
Iran, yang berada di bawah sanksi ekonomi AS, melihat BRICS sebagai peluang strategis untuk memperluas aliansi ekonominya dan mencari pendanaan dan perdagangan alternatif. Melalui BRICS, Iran dapat mengurangi dampak sanksi internasional dan memperkuat sektor minyak dan ekspor energi lainnya.
UEA mengincar posisi strategis untuk menjadi pusat keuangan terintegrasi BRICS dan BRICS Plus, khususnya di bidang perbankan dan investasi, guna meningkatkan perannya di pasar global tanpa bergantung sepenuhnya pada AS dan Eropa.
Sementara Argentina yang sempat menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan BRICS Plus pada Agustus 2023, kini menyatakan akan mundur. Presiden Argentina Javier Milei berpendapat bahwa secara ekonomi aliansi BRICS masih didominasi oleh Tiongkok, yang menyumbang lebih dari 70% PDB gabungan blok tersebut, sehingga pengaruh Tiongkok lebih besar dibandingkan negara lain. Selain itu, Argentina menghadapi tantangan ekonomi yang berat, termasuk inflasi, utang, dan kemiskinan, sehingga Milei memprioritaskan reformasi ekonomi dan kebijakan perdagangan yang lebih selaras dengan kepentingan IMF dan AS.
Beberapa studi kasus dari negara-negara anggota BRICS Plus menunjukkan bahwa negara-negara berkembang dapat memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk menyeimbangkan kepentingan nasionalnya di tengah persaingan antara kubu Barat dan non-Barat.
Jika memilih bergabung dengan BRICS Plus, Indonesia memerlukan rencana strategis untuk menjawab tantangan geopolitik, menyeimbangkan kepentingan nasional, sekaligus menjaga hubungan dengan negara G7.