Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.
Untuk mengawal pemerintahannya, kami menerbitkan #PantauPrabowo edisi khusus yang berisi isu-isu penting hasil pemetaan kami dengan TCID Author Network. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.
Dengan dilantiknya Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia berikutnya, publik nampaknya mulai bertanya-tanya apakah demokrasi akan membaik atau memburuk.
Berbagai isu kontroversial yang melingkupi pasangan ini tentu akan berdampak pada kondisi atau kepercayaan masyarakat di kemudian hari. Salah satunya adalah latar belakang militer Prabowo yang memiliki rekam jejak kelam dalam pelanggaran HAM. Apalagi, posisi Gibran erat kaitannya dengan label dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Kehadirannya sebagai putra sulung Jokowi di kancah politik Indonesia memperkuat indikasi menguatnya pengaruh politik melalui hubungan kekerabatan. Hal ini tentu saja dapat melemahkan prinsip meritokrasi dalam demokrasi.
Sudah sepatutnya masyarakat memantau lebih dekat jalannya pemerintahan ke depan, terutama dalam hal menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Jelang pelantikan Prabowo-Gibran, tampaknya hubungan Prabowo dengan pimpinan partai yang tidak mendukungnya terus “membaik”. Prabowo baru-baru ini mengisyaratkan untuk menghilangkan oposisi dengan mengatakan bahwa keberadaan oposisi bukanlah bagian dari budaya Indonesia, serupa dengan langkah Jokowi yang memasukkan hampir semua partai politik ke dalam koalisi pemerintah.
Jika konsep ini terus dilanjutkan, memang bisa meredam polarisasi dan ketegangan politik, namun juga berpotensi mematikan demokrasi. Peran oposisi sebagai pengawas pemerintah akan terkikis. Maka ruang kritik dan penguasaan kekuasaan akan menyempit. Tanpa mekanisme check and balance yang memadai, masa depan demokrasi di Indonesia bisa berada dalam ancaman serius.
Urusan kabinet atau transaksi?
Kabinet zaken adalah kabinet yang anggotanya dipilih berdasarkan keahlian dan kompetensi profesional, bukan berdasarkan afiliasi politik atau kepentingan partai. Tujuan utamanya adalah mengatasi tantangan politik dengan mengutamakan kolaborasi berdasarkan keahlian dan kompetensi, bukan afiliasi politik.
Alih-alih membentuk kabinet zaken, rencana kabinet Prabowo malah terindikasi politik transaksional. Hal ini tercermin dalam seleksi calon anggota kabinetnya.
Dari 108 nama calon menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga negara yang dipanggil Prabowo ke kediamannya di Kertanegara awal pekan ini, banyak yang merupakan tokoh dengan rekam jejak bermasalah, termasuk dugaan keterlibatan kasus hukum dan catatan etik.
Nama-nama seperti Pratikno, Budi Gunadi, Fahri Hamzah, Raffi Ahmad, dan Giring “Nidji” pernah terlibat kontroversi terkait persoalan hukum, karier pendidikan, hingga pernyataan kontroversial. Situasi ini semakin memperkuat kesan bahwa kabinet zaken yang diimpikan Prabowo kemungkinan besar tidak akan terwujud karena kuatnya politik transaksional dalam proses seleksi anggota kabinetnya.
Kemungkinan tidak adanya pertentangan juga dapat dilihat melalui Teori Kontak yang menjelaskan bagaimana kelompok oposisi kemudian dapat berkolaborasi melalui interaksi yang positif. Teori ini sering diterapkan oleh pasukan penjaga perdamaian untuk menyelesaikan konflik antarkelompok dan geopolitik. Berdasarkan teori ini, interaksi positif sengaja diciptakan dalam suasana setara sehingga dapat mengurangi prasangka, meningkatkan solidaritas antar pihak yang bersaing, dan pada akhirnya menciptakan identitas kolektif di antara mereka.
Namun dampak samping dari interaksi positif kedua belah pihak justru berujung pada tersingkirnya pihak oposisi dan merosotnya kondisi demokrasi, bahkan pada titik tertentu mampu mengancam keberlangsungan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks politik, teori ini sangat relevan untuk membangun koalisi yang efektif. Ketika para aktor politik dari berbagai latar belakang berinteraksi secara setara, mereka dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik satu sama lain dan mengurangi stereotip yang merugikan, namun dapat dengan mudah menimbulkan “koalisi yang gemuk.” Berbagai kelompok, meski berbeda kepentingan dan pandangan, bersatu untuk mencapai tujuan bersama, seperti mengesahkan kebijakan atau menyelesaikan konflik.
Contoh penerapannya telah dilakukan di zona konflik seperti Irlandia Utara, Israel, Bosnia-Herzegovina, dan Rwanda, dan terbukti efektif dalam membangun kepercayaan, empati, dan rekonsiliasi antar kelompok yang menjadi landasan kolaborasi politik. Hal ini menunjukkan bagaimana aktor-aktor politik yang berbeda dapat bersatu demi kepentingan bersama, terutama jika mereka memiliki pandangan kebijakan yang sama.
Dengan menciptakan interaksi positif, teori kontak mendukung pengurangan ketegangan dan memfasilitasi kolaborasi antar kelompok yang biasanya bersaing, memungkinkan mereka bekerja sama untuk mencapai hasil yang menguntungkan semua pihak.
Kabinet Zaken, jika benar-benar dilaksanakan sesuai prinsip teori kontak, berpotensi meredam dinamika konflik yang biasa terjadi dalam pemerintahan yang berbasis politik partai, karena fokusnya akan lebih pada kualitas keputusan dan solusi praktis dibandingkan kepentingan partisan. .
Namun, jika prinsip teori kontak tidak diterapkan dengan benar dan kabinet zaken tetap didominasi oleh politik transaksional atau kepentingan partai, maka dampaknya akan negatif terhadap demokrasi itu sendiri.
Alih-alih membangun kolaborasi yang sehat dan mengurangi prasangka, kabinet zaken yang dipimpin Prabowo malah menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan kabinet untuk benar-benar berfungsi berdasarkan meritokrasi dan keahlian, bukan sekadar kepentingan politik yang tersembunyi.
Ilusi harmoni dan kolaborasi
Jika pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan dengan kabinet hasil transaksi politik, kita mungkin harus siap menghadapi kenyataan bahwa panggung politik Indonesia akan semakin menyerupai sirkus – permainan kekuasaan lebih dominan dibandingkan pengabdian kepada rakyat. Masyarakat hanya bisa menyaksikan dengan cemas, berharap janji-janji reformasi dan demokrasi tidak berubah atau hilang hingga akhirnya hanya sekedar omong kosong belaka.
Ironisnya, jika tidak ada oposisi, para pejabat bisa saling berpelukan di depan layar—tetapi bukan dalam semangat kolaborasi yang sehat, melainkan dalam ilusi harmoni yang dibentuk oleh kepentingan pragmatis.
Akankah kabinet Prabowo-Gibran membawa Indonesia ke era baru yang lebih demokratis, atau malah membawa negara ini ke dalam kubangan politik dinasti dan oligarki yang semakin mendalam?
Mungkin jawabannya sudah terlihat di balik senyum seorang politikus yang nyaman menduduki kursi kekuasaan. Demokrasi barangkali hanya akan menjadi kata-kata kosong di balik panggung politik transaksional, sementara masyarakat tetap berharap di luar gedung, menunggu keajaiban yang tak kunjung datang.