Pada 10 September 2024, Timnas Putra Indonesia berhasil menahan imbang Australia dengan skor 0-0 di Stadion Gelora Bung Karno. Selain undian bersejarah tersebut, ada satu hal menarik lainnya yang patut digarisbawahi: sembilan dari sebelas pemain yang menjadi starter di pertandingan tersebut merupakan pemain diaspora, yang memperoleh kewarganegaraan melalui proses naturalisasi.
Yang dimaksud dengan diaspora menurut Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 7 Tahun 2017 adalah WNI yang tinggal di luar negeri, eks WNI, WNA yang merupakan anak dari eks WNI, dan WNA yang orang tua kandungnya adalah WNI.
Fenomena naturalisasi ini jelas melampaui ranah sepak bola itu sendiri, dan dapat membuka perdebatan tentang bagaimana kita mendefinisikan kewarganegaraan, identitas nasional, dan peran diaspora dalam konstruksi tersebut.
Sepak bola dan diaspora
Praktik naturalisasi pemain diaspora di dunia sepak bola bukanlah hal baru. Di timnas Maroko di Piala Dunia 2022 misalnya, 14 dari 26 pemainnya lahir di luar Maroko. FIFA memang menawarkan fleksibilitas dalam pemilihan pemain nasional yang memungkinkan praktik ini. Pemain dapat bergabung dengan tim nasional suatu negara yang memiliki hubungan asli dengan mereka, meskipun pemain tersebut lahir atau tinggal di negara lain.
Ikatan ini dapat didasarkan pada tempat lahir, garis keturunan, atau bahkan waktu tinggal. Aturan ini lebih longgar dibandingkan undang-undang kewarganegaraan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Menurut pasal 6 aturan FIFA, tanpa hubungan “darah”, seorang pesepakbola dapat mewakili tim nasional suatu negara jika ia memenuhi salah satu syarat berikut: ia dilahirkan di negara tersebut, atau memiliki ayah atau ibu kandung, kakek atau nenek. yang lahir di sana, atau telah tinggal di negara tersebut selama lima tahun berturut-turut setelah berusia 18 tahun.
Dengan aturan yang lebih luas ini, seorang pemain berhak mewakili beberapa negara. Misalnya, sebelum menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), Sandy Walsh sempat mewakili Belgia, Inggris, Irlandia, Swiss, Belanda, atau Indonesia. Sebab, ia lahir di Belgia, ayah Irlandia lahir di Inggris, dan ibu Indonesia lahir di Swiss. Selain itu, Walsh besar di Belanda dan tergabung dalam timnas Belanda kelompok usia U15 hingga U20, termasuk menjuarai kejuaraan Eropa U17 tahun 2012 di Slovenia.
Naturalisasi di Indonesia
Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia, syarat umum naturalisasi adalah telah berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah, telah tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut, dapat berbahasa Indonesia, mengakui Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar. negara, dan tidak mempunyai kewarganegaraan ganda. Selain itu, ada persyaratan tambahan seperti memiliki penghasilan tetap dan membayar biaya naturalisasi sebesar lima puluh juta rupiah.
Proses naturalisasi pemain timnas ini terlihat dari apa yang terjadi pada Cristian Gonzales dan Marc Klok. Mereka tidak mempunyai keturunan Indonesia, namun memenuhi syarat naturalisasi setelah mencapai masa tinggal minimal. Keduanya kemudian menjadi bagian penting timnas di eranya masing-masing.
Sedangkan gelombang naturalisasi diaspora dimulai dari pesepakbola Kim Kurniawan keturunan Indonesia berkewarganegaraan Jerman, disusul Diego Michiels, Stefano Lilipaly, dan lainnya. Sejak akhir tahun 2022, terjadi peningkatan signifikan jumlah pemain sepak bola naturalisasi di Indonesia. Dalam dua tahun terakhir, PSSI telah menaturalisasi 14 pemain timnas.
Kasus Maarten Paes: pengakuan akan potensi, bukan ikatan darah
Jika Sandy Walsh dan dua belas pemain lainnya dinaturalisasi dalam dua tahun terakhir berdasarkan keturunan, lain halnya dengan Maarten Paes. Meski nenek dari pihak ibu Paes lahir di Kediri, Jawa Timur, namun keluarganya tidak memiliki darah Indonesia. Berdasarkan aturan, Paes tidak memenuhi syarat menjadi warga negara Indonesia, karena Indonesia tidak mengenal asas jus soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir).
Penjaga gawang Timnas Indonesia Marteen Paes menangkap bola saat melawan Timnas Australia pada laga Grup C putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Hafidz Mubarak A/Antara Foto
Namun pada 30 April 2024, Paes resmi menjadi warga negara Indonesia berkat Pasal 20 UU Kewarganegaraan yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan kewarganegaraan kepada orang perseorangan yang berjasa atau karena alasan untuk kepentingan negara. Dalam hal ini, sepak bola dinilai untuk kepentingan negara dan Paes dinilai mampu memberikan pelayanan kepada negara. Hal ini dapat menjadi pintu masuk untuk membahas lebih lanjut kewarganegaraan dan diaspora.
Kewarganegaraan dan identitas nasional: bukan sekedar dokumen
Indonesia menganut asas ius sanguinis sebagai dasar kewarganegaraan, yang berarti kewarganegaraan diperoleh melalui garis keturunan orang tua. Prinsip ini masih berlaku menurut UU Kewarganegaraan.
Anak berusia di bawah 18 tahun dari salah satu orangtua warga negara Indonesia yang lahir di luar negeri berhak mempunyai kewarganegaraan ganda. Hal ini menunjukkan pengakuan diaspora Indonesia sebagai bagian dari bangsa. Pengakuan ini diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2017 tentang fasilitas bagi orang Indonesia di luar negeri.
Namun, kewarganegaraan seringkali hanya diukur berdasarkan dokumen seperti akta kelahiran, KTP, atau paspor. Namun, apakah kepemilikan dokumen saja sudah cukup untuk mengidentifikasi identitas nasional seseorang?
Faktanya, identitas seseorang juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti perasaan keterikatan pada suatu negara, suku, bahasa, agama, atau komunitas. Perasaan “punya rumah” atau “pulang kampung” juga kerap menjadi penanda jati diri bangsa.
Kemungkinan besar, perasaan itulah yang menjadi alasan beberapa pemain diaspora timnas memilih menjadi WNI. Mereka merasakan keterikatan emosional dengan Indonesia yang mereka anggap sebagai rumah mereka. Pengakuan tersebut terlihat dari pernyataan Paes dan Walsh dalam beberapa wawancara.
Terus gimana?
Revisi UU Kewarganegaraan didorong oleh berbagai pihak, seperti Jaringan Diaspora Indonesia (IDN) dan Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), khususnya terkait gagasan kewarganegaraan ganda. Revisi undang-undang ini telah masuk dalam program legislasi nasional sejak tahun 2014 namun hingga saat ini belum ada kemajuan.
Pemberian kewarganegaraan kepada pesepakbola diaspora yang baru-baru ini dilakukan harus menjadi titik awal peninjauan kembali UU Kewarganegaraan dan membuka jalan untuk mengubah aturan yang kaku dan sangat restriktif tersebut agar lebih akomodatif bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya bagi para atlet.
Jika naturalisasi dapat difasilitasi demi “kepentingan negara” dan bagi mereka yang “bermanfaat”, maka definisi keduanya perlu diperjelas dan diperluas. Saat ini perhatian cenderung terfokus pada olahraga, khususnya sepak bola. Padahal, diaspora Indonesia di luar negeri memiliki keahlian dan sumber daya yang sangat beragam, sehingga juga dapat memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa di berbagai bidang.
Pengakuan yang lebih inklusif terhadap diaspora tidak hanya memperkuat identitas nasional tetapi juga membuka jalan bagi sinergi yang lebih besar antara bangsa Indonesia dengan warga negaranya di luar negeri. Sinergi ini tidak hanya akan mendorong kemajuan di bidang terkait, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di kancah global, karena timnas kini bisa bersaing di tingkat persaingan yang lebih tinggi dari sebelumnya.