Friday, January 17, 2025
BerandaPolitikPemerintahan Prabowo berpotensi menjadi koalisi yang gemuk: apa jadinya negara tanpa oposisi?

Pemerintahan Prabowo berpotensi menjadi koalisi yang gemuk: apa jadinya negara tanpa oposisi?

-

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.

Untuk mengawal pemerintahannya, kami menerbitkan #PantauPrabowo edisi khusus yang berisi isu-isu penting hasil pemetaan kami dengan TCID Author Network. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.

Beberapa waktu lalu, Pastor Magnis berpesan jika Indonesia tidak memiliki partai oposisi, maka demokrasi di negeri ini perlahan akan hilang. Tidak ada lagi asas rule of law, yang ada hanya rule by law, yakni ketika pemerintah berada di atas hukum itu sendiri dan bebas berbuat apa pun.

Dampak yang paling mengerikan adalah tidak mendengarkan suara masyarakat. Semua keputusan berada di kalangan elit dan mereka yang terus berkuasa.

Bukan tidak mungkin hal mengerikan itu terjadi pada masa pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Baru-baru ini, Prabowo memberi isyarat akan melenyapkan pihak oposisi dengan mengatakan bahwa oposisi bukanlah budaya Indonesia.

Tampaknya ia akan mengikuti jejak Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang merangkul seluruh parpol ke dalam koalisi pemerintahan. Saat ini, 8 dari 9 partai politik di parlemen menjadi pendukung pemerintah (koalisi penguasa).

Prabowo kemungkinan besar akan memiliki koalisi pendukung pemerintah yang besar. Hal ini sudah bisa diprediksi sejak pemilu 2024. Dan hal ini akan berdampak buruk pada tata kelola pemerintahan di Indonesia dan menumbuhkan praktik korupsi.

Membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 Februari lalu, delapan partai politik berhasil merebut kursi di parlemen, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) , dan Demokrat .

Presiden Joko Fauzan/Antara Foto

Dari delapan parpol yang mengisi 580 kursi DPR RI, hanya PDIP yang berpeluang menjadi oposisi. Meski PDIP memiliki kursi terbanyak yakni 110, namun komposisinya masih sangat timpang. Koalisi pemerintah akan terus memanfaatkan kekuasaan, terutama melalui posisi strategis lembaga negara.

Jika hal ini terjadi, hal ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya checks and balances, namun juga membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis.

Ketika kekuasaan tidak ditantang secara berarti, pemerintah cenderung memperkuat cengkeramannya dengan melemahkan lembaga-lembaga demokrasi dan membungkam suara-suara kritis. Pada tahap ini, pemerintah tidak lagi merasa terikat dengan hukum dan cenderung menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi tindakan represifnya.

Melahirkan rezim otoriter

Kita bisa melihat dan belajar dari beberapa sejarah dan pengalaman negara lain, khususnya tentang bagaimana tidak adanya oposisi yang efektif dalam sistem politik dapat meningkatkan risiko munculnya rezim otoriter.

Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem satu partai, seperti Jerman di bawah Hitler dan Italia di bawah Mussolini, cenderung menuju kediktatoran.

Pemimpin Nazi Jerman Adolf Hitler (kanan) bersama pemimpin fasis Italia Benito Mussolini di Munich, Jerman, pada 18 Juni 1940. Everett Collection/Shutterstock

Dalam rezim otoriter modern, manipulasi politik seringkali dilakukan melalui penggunaan institusi yang tampak demokratis, namun sebenarnya dirancang untuk mempertahankan kekuasaan rezim. Misalnya, rezim yang berkuasa menggunakan mekanisme pemilu yang tampak sah, namun disertai dengan intimidasi, korupsi, atau penipuan untuk memastikan kemenangan.

Dalam beberapa kasus, fenomena ini terlihat di negara-negara pasca-Soviet. Partai-partai oposisi seringkali “dikendalikan” untuk memberikan ilusi persaingan politik, padahal mereka sebenarnya tidak mampu melawan kekuasaan rezim.

Rezim otoriter seringkali menggunakan korupsi dan intimidasi untuk mempertahankan kendali, sementara oposisi yang ada dianggap tidak efektif dan tidak mampu menjadi penyeimbang yang kredibel.

Contoh fenomena ini dapat dilihat di Rusia, pada masa rezim Vladimir Putin. Meskipun pemilu diadakan secara rutin, pihak oposisi dibuat tidak berdaya melalui berbagai cara, mulai dari intimidasi, pembatasan akses terhadap media, hingga penangkapan aktivis oposisi. Rezim tersebut menggunakan struktur hukum untuk melegitimasi tindakan represifnya, sehingga membuat partai-partai oposisi tampak legal namun secara de facto tidak memiliki kapasitas untuk menantang kekuasaan.

Di Belarus, pada masa kepemimpinan Alexander Lukashenko, pemilu hanya digunakan sebagai alat untuk memperluas kekuasaan. Partai-partai oposisi diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam jumlah besar, namun rezim yang berkuasa sering membatasi kampanye, mengontrol akses terhadap media, dan mengintimidasi pendukung oposisi secara fisik. Pemilu yang berlangsung hanyalah ilusi demokrasi dengan hasil yang sudah direncanakan sejak awal.

Masyarakat semakin tidak terlibat

Kekuatan oposisi yang sangat minim tidak hanya melemahkan sistem politik secara keseluruhan, namun juga memberikan dampak negatif terhadap masyarakat sipil.

Ketika tidak ada lagi ruang untuk perbedaan pendapat atau kritik, masyarakat sipil kehilangan suaranya dalam proses politik. Hak-hak dasar, seperti kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat, sering kali dibatasi. Akibatnya, masyarakat tidak lagi memiliki mekanisme untuk mengungkapkan ketidakpuasannya secara damai dan terorganisir. Hal ini dapat memperburuk ketidakpuasan sosial dan meningkatkan risiko kerusuhan.

Seorang mahasiswa terjatuh akibat terkena cipratan air dari water canon polisi saat aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Kaltim di Samarinda. M Risyal Hidayat/Antara Foto

Kondisi ini juga memperparah korupsi dan inefisiensi pemerintahan, karena tidak ada mekanisme efektif untuk menjaga akuntabilitas kekuasaan. Tanpa adanya oposisi yang kuat, kebijakan publik cenderung diambil berdasarkan kepentingan elite penguasa, bukan demi kesejahteraan rakyat. Hal ini menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin besar, yang pada akhirnya memperburuk stabilitas politik dan sosial.

Selain dampaknya terhadap korupsi dan hak-hak masyarakat sipil, hilangnya kekuatan oposisi juga berdampak buruk pada kualitas lembaga demokrasi di suatu negara yang seharusnya berfungsi sebagai checks and balances kekuasaan.

Di Indonesia, lembaga yang berfungsi sebagai pengawas dan pengendali kekuasaan antara lain sejumlah lembaga demokrasi yang krusial, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Ombudsman. KPK misalnya bertanggung jawab memberantas korupsi di kalangan pejabat publik, sedangkan KPU memastikan proses pemilu berjalan jujur ​​dan adil. Ombudsman berperan dalam penanganan pelanggaran administratif yang dilakukan pejabat negara.

Namun, rezim otoriter melemahkan lembaga-lembaga tersebut atau bahkan menyalahgunakannya untuk mempertahankan dominasi. Akibatnya, proses legislatif, yudisial, dan media yang seharusnya berfungsi secara independen justru menjadi alat politik untuk memperkuat kekuasaan rezim.

Secara legislatif, pihak oposisi yang lemah tidak mampu mempengaruhi kebijakan, sehingga peraturan perundang-undangan hanya mencerminkan kepentingan penguasa. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak mewakili kepentingan rakyat, melainkan justru memperluas kekuasaan rezim atau menguntungkan kelompok elit tertentu.

Mengancam kerja media

Selain lembaga peradilan dan legislatif, media juga menjadi sasaran utama rezim otoriter dalam mengendalikan opini publik. Kebebasan pers, yang merupakan fondasi penting bagi demokrasi, sering kali ditekan, dan media yang kritis terhadap pemerintah menghadapi ancaman hukum, sensor, atau intimidasi fisik.

Rezim yang berkuasa akan mengontrol narasi yang disebarluaskan ke publik, memastikan bahwa hanya berita-berita yang menguntungkan pemerintah yang tersebar luas. Dengan cara ini, rezim dapat membentuk opini publik yang berpihak pada pemerintah atau setidaknya menghilangkan kritik terbuka terhadap kebijakan-kebijakannya.

Ketika media tidak lagi bebas, masyarakat akan kesulitan mendapatkan informasi yang obyektif dan transparan mengenai situasi politik, sosial dan ekonomi suatu negara. Kurangnya akses terhadap informasi yang benar membuat masyarakat semakin terisolasi dan tidak memiliki kemampuan untuk menantang kekuasaan secara efektif. Hal ini juga memperburuk kondisi sosial, karena masyarakat mudah terpecah belah karena propaganda dan narasi yang dikuasai penguasa.

Memicu kesenjangan sosial

Dampak hilangnya oposisi yang efektif juga akan sangat mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi negara tersebut. Ketika elite penguasa menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, sumber daya negara tidak lagi digunakan untuk kesejahteraan masyarakat umum. Maraknya korupsi dan kebijakan ekonomi yang tidak memihak rakyat mengakibatkan kesenjangan sosial semakin lebar. Ketimpangan ini memicu semakin besarnya ketidakpuasan di kalangan masyarakat, terutama bagi kelompok marginal.

Jurnalis foto di Rio De Janeiro menyalakan lilin saat mengheningkan cipta setelah seorang jurnalis video terbunuh saat meliput protes di sana.

Ilustrasi kerja media. Nelson Antoine/Shutterstock

Ketidakpuasan sosial yang tidak tersalurkan secara damai akibat represi politik pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan politik dan konflik sosial. Ketika masyarakat merasa aspirasinya tidak didengarkan dan hak-haknya terus-menerus dilanggar, maka masyarakat akan mencari cara lain untuk mengungkapkan ketidakpuasannya, seringkali melalui protes yang berujung pada kerusuhan atau bahkan pemberontakan.

Dalam beberapa kasus, tindakan represi berlebihan terhadap demonstran atau pihak oposisi justru memicu reaksi yang lebih kuat dari masyarakat, sehingga semakin memperburuk situasi keamanan dan stabilitas negara.

Pada akhirnya, menjaga checks and balances dalam pemerintahan adalah kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi di tangan segelintir elit, dan ini merupakan tantangan penting dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berikutnya.

Ketika kekuatan oposisi di Indonesia terus menyusut, ancaman hilangnya mekanisme pengawasan independen menjadi nyata. Fungsi penting lembaga-lembaga seperti DPR, KPK, dan Mahkamah Konstitusi bisa tergerus jika tidak lagi memiliki independensi atau diisi oleh aktor-aktor yang loyal kepada penguasa. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pihak oposisi memainkan peran penting dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang adil.

Tanpa adanya oposisi yang kuat, potensi penyalahgunaan kekuasaan akan semakin besar. Oleh karena itu, kita perlu memperkuat institusi demokrasi yang mampu menjaga keseimbangan kekuasaan. Lembaga seperti DPR harus tetap menjalankan fungsi pengawasan yang efektif, sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu tetap independen dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika tidak, risiko munculnya pemerintahan yang otoriter dan tertutup akan semakin besar.

Pemerintahan Prabowo harus menyadari bahwa negara yang kuat tidak hanya diukur dari besarnya koalisi yang mendukung pemerintahannya, tetapi juga dari kemampuan sistem politik dalam menampung kritik dan memastikan seluruh elemen masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dalam proses politik. Hanya dengan mekanisme checks and balances yang kuat maka kebijakan pemerintah dapat dirumuskan untuk kepentingan rakyat banyak dan menjauhkan Indonesia dari ancaman otoritarianisme.

di sini bisa

disini bisa

Artikel terkait

Tetap Terhubung

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Postingan terbaru kami