Wednesday, January 15, 2025
BerandaPolitikRapor Reformasi Peradilan Pidana Jokowi, Humas untuk Prabowo

Rapor Reformasi Peradilan Pidana Jokowi, Humas untuk Prabowo

-

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden menuai kontroversi, akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.

Untuk mengawal pemerintahannya, kami menerbitkan #PantauPrabowo edisi khusus yang berisi isu-isu penting hasil pemetaan kami dengan TCID Author Network. Edisi kali ini juga mengulas 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, serta memberikan persiapan bagi Prabowo-Gibran dalam menjalankan tugasnya.

Bulan Oktober ini tidak hanya menjadi momentum pergantian rezim di pemerintahan Indonesia, namun juga menjadi cerminan dari dinamika politik yang terjadi menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang mencatatkan rapor merah baik bidang hukum maupun pidana. reformasi keadilan.

Tentu saja, terdapat sejumlah langkah positif yang dilakukan pemerintah dalam reformasi hukum. Misalnya, pengesahan KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) – menggantikan KUHP lama warisan masa kolonial Belanda – menjadi tonggak penting bagi kemajuan peraturan pidana di Indonesia. Pemerintahan Jokowi juga mengesahkan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menjadi secercah harapan bagi korban kekerasan seksual.

Mantan Gubernur Solo ini juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat sebagai wujud komitmen pemenuhan pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat tanpa meninggalkan proses penyelesaian peradilan yang sedang berjalan.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat catatan-catatan kritis yang jauh lebih banyak lagi. Misalnya, meski Perpres sudah terbit, namun belum ada kasus pelanggaran HAM berat yang tuntas tertangani selama dua periode kepemimpinan Jokowi.

Tak hanya itu, variabel penegakan hukum pada kasus pelanggaran HAM berat pada Indeks Pembangunan Hukum 2022 menunjukkan skor sebesar 0,37 – masuk kategori buruk. Rendahnya nilai tersebut terutama terlihat pada aspek peradilan pidana dan pemenuhan hak-hak dasar. Padahal, penyelesaian HAM masa lalu selalu menjadi poin kampanye yang diusung Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019.

Sebagai penggantinya berikutnya, Prabowo Subianto – yang juga memiliki catatan hitam terkait pelanggaran hak asasi manusia – akan menghadapi tantangan berat dalam hal reformasi hukum.

Artikel ini akan mengelaborasi berbagai kritik atas lemahnya upaya reformasi sistem peradilan pidana di era Jokowi, yang dapat menjadi acuan bagi masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi reformasi peradilan dalam memantau kinerja pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.

#Semua Bisa Terjadi

Kasus fenomenal Nenek Minah yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena “mencuri” tiga buah kakao dan kasus Baiq Nuril pada tahun 2019 – korban pelecehan oleh atasannya yang sebenarnya dinyatakan bersalah melakukan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE, menunjukkan betapa rentannya kita sebagai warga negara untuk berinteraksi dengan sistem. peradilan pidana.

Kita semua berpotensi menghadapi hukum, baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku/tersangka dalam peradilan pidana.

Landak jawa memelihara jamaah di Bali. Fikri Yusuf/Antara Foto

Kasus-kasus tersebut membuktikan betapa peraturan hukum pidana di Indonesia masih belum kuat mengakomodasi kebutuhan masyarakat, cenderung menjadikan masyarakat miskin dan kelompok rentan mudah dikriminalisasi, serta masih membuka ruang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan sewenang-wenang.

Apabila sistem peradilan pidana tidak berjalan secara akuntabel dan adil, maka mereka yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana akan beresiko diperlakukan secara tidak adil, dilanggar hak dan kualitas hidupnya, atau bahkan dalam kasus tertentu justru justru akan mengalami kerugian. mengalami kekerasan lebih lanjut oleh petugas penegak hukum. hukum.

Indeks Akses terhadap Keadilan Indonesia tahun 2021 menunjukkan bahwa 54,4% dari 2.341 orang mengalami permasalahan hukum terkait kejahatan – 80% diantaranya menjadi korban permasalahan hukum. Temuan Indeks Akses terhadap Keadilan juga menemukan bahwa 73% masyarakat yang mengalami permasalahan hukum mengalami dampak seperti kerugian psikologis, kerugian ekonomi/finansial, dan kerugian fisik.

Pengendalian kejahatan sudah ketinggalan zaman

Praktik yang dilakukan aparat penegak hukum saat ini sarat dengan pendekatan pemberantasan kejahatan yang mengutip literatur klasik, seringkali mengabaikan asas praduga tak bersalah dan hak-hak tersangka dalam proses peradilan, serta memberikan kewenangan yang sangat besar kepada kepolisian dalam menjalankan tugasnya. keluar investigasi.

Personil polisi membubarkan mahasiswa yang menerobos pagar saat berunjuk rasa menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Senayan. Galih Pradipta/Antara Foto

Contoh yang paling mudah kita lihat adalah “pengendalian” aksi massa oleh pihak kepolisian yang seringkali tidak sesuai prosedur dan penuh dengan praktik kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, seperti yang terjadi pada aksi Reformasi Korupsi tahun 2019 dan Darurat Demokrasi pada tahun 2019. 2024.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam laporannya pada tahun 2019 mencatat 88 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan jumlah korban mencapai 1.144 orang. Hal ini mencakup penganiayaan, intimidasi, memasuki rumah tanpa izin, dan penyiksaan.

Kebijakan kriminal ‘balas dendam’

Konsep pengendalian kejahatan juga tercermin dalam kebijakan punitif yang selalu berorientasi pada pemberian efek jera terhadap pelakunya. Faktanya, terlalu banyak kebijakan yang bersifat menghukum hanya menunjukkan bahwa negara lemah dan tidak mampu menciptakan ketertiban. Sebaliknya, peradilan pidana yang bersifat hukuman justru mengakibatkan peningkatan residivisme (3%).

Pengungkapan kasus pidana pencucian uang dari peredaran narkoba oleh Bareskrim Polri di Jakarta. Reno Esnir/Antara Foto

Salah satu contoh kebijakan hukuman yang masih bertahan pada masa pemerintahan Jokowi adalah kebijakan perang terhadap narkoba, yang menganggap bahwa penjara memiliki tujuan utama memberikan hukuman dibandingkan rehabilitasi dan dianggap sebagai strategi yang efektif untuk melindungi keselamatan masyarakat.

Akibatnya, hingga saat ini jumlah narapidana narkotika terus meningkat. Data informasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 27 Agustus 2024 mencatat dari total 217.299 narapidana, populasi kasus tindak pidana narkotika mencapai 51,50%.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat kebijakan perang terhadap narkoba hanya mengatur jenis kejahatan dan jumlah narkotika yang menjadi syarat pemidanaan, tanpa melihat faktor lain terkait pengklasifikasian peran pelaku sebagai pengguna. , pecandu, atau kurir narkotika yang mengedarkan dalam jumlah besar.

Padahal, pemidanaan akan lebih efektif bila dibarengi dengan upaya integrasi sosial antar individu atau masyarakat yang terkena dampak suatu kejahatan. Oleh karena itu, hukuman penjara bukanlah kebijakan yang tepat untuk menjadi pilihan utama, dan integrasi sosial perlu didukung oleh aktor-aktor di luar sistem peradilan pidana, seperti masyarakat dan layanan pendukung dari sektor sosial dan kesehatan masyarakat.

Kita juga perlu mengingat bahwa perang terhadap narkoba adalah kebijakan yang keras dan bersifat menghukum yang dapat mengakibatkan hukuman mati. Imparsial mencatat, pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, angka hukuman mati dan eksekusi sangat masif.

Pada tahun 2022, ICJR mencatat tren penambahan kasus yang dituntut dan/atau dijatuhi hukuman mati masih didominasi oleh tindak pidana narkotika sebesar 93%. Sementara itu, belum ada bukti empiris yang menunjukkan efektivitasnya dalam pengendalian tindak pidana narkotika.

Sistem kriminal itu mahal

Penelitian menunjukkan bahwa menerapkan hukuman yang bersifat hukuman melalui pemenjaraan membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pemenjaraan. Dalam konteks Indonesia, negara harus mengadili pelakunya melalui seluruh tahapan, mulai dari penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pendampingan hukum oleh Advokat, persidangan oleh Mahkamah Agung, hingga penjara. Keseluruhan proses peradilan pidana membutuhkan banyak sumber daya yang mahal.

Aksi penolakan RUU Pilkada di Batam. Teguh Prihatna/Antara Foto

Dalam rangka biaya tindak pidana dan peradilan pidana, biaya yang dikeluarkan negara meliputi biaya makan dan kebutuhan narapidana, transportasi dan logistik selama proses hukum, biaya pencarian barang bukti, dan biaya mendatangkan ahli.

Para pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan aspek biaya sebagai kerangka penting dalam membentuk kebijakan peradilan pidana. Sumber daya dapat dialokasikan dengan lebih baik pada intervensi yang menawarkan pengembalian investasi tertinggi, seperti program pencegahan dan pengobatan yang mungkin lebih hemat biaya dalam jangka panjang dibandingkan dengan penahanan.

Pekerjaan rumah untuk Prabowo

Ulasan di atas tentu saja hanya segelintir permasalahan yang muncul terkait sistem peradilan pidana kita. Masih banyak konteks lain yang sering diabaikan. Tanpa sistem peradilan yang akuntabel, kita semua akan mempunyai risiko yang sama untuk ditangkap secara sewenang-wenang, dibatasi hak-hak hukumnya, dan berisiko dianiaya, baik sebagai korban, saksi, atau pelaku.

Tanpa sistem peradilan yang transparan, kita #SemuaOrang BisaLagi. Kelompok miskin dan rentan akan semakin terhimpit dan stabilitas negara pun akan terpengaruh. Jika stabilitas negara tidak terjaga maka berisiko berdampak pada perekonomian dan iklim investasi, serta impian besar membangun Indonesia yang tangguh di mata dunia tidak akan terwujud.

Apalagi, saat ini Indonesia sedang dalam proses menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang mewajibkan suatu negara menunjukkan komitmen terhadap masyarakat demokratis berdasarkan prinsip supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Belajar dari kontroversi Pemilu 2024

Dari berbagai dinamika yang muncul pada pemilu 2024, kita juga bisa melihat bagaimana reformasi hukum bisa dengan mudah dibalik sesuai kepentingan politik penguasa. Sehingga menjadi penting bagaimana Pemerintah selanjutnya mampu memastikan kebijakan hukum yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Mengutip pendapat Piquero (2019) dan Sherman (2013), pengetahuan yang kita miliki perlu dipadukan dengan keahlian para ahli, mitra pembangunan, pengalaman masyarakat sipil, dan aktor kunci lainnya baik di tingkat pusat maupun daerah agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. untuk menghasilkan berbagai kebijakan dan praktik berbasis bukti.

Oleh karena itu, pemantauan terhadap arah kebijakan Presiden dan DPR periode mendatang penting dilakukan untuk memastikan upaya penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia tidak berhenti begitu saja.

Mari kita bersama-sama memantau reformasi hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Mari #MontauPrabowo bersama.

di sini bisa

disini bisa

Artikel terkait

Tetap Terhubung

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Postingan terbaru kami