Pada awal Agustus 2024, pemberitaan penangkapan terduga pelaku tindak pidana terorisme di beberapa lokasi berbeda mendominasi pemberitaan media.
Pada 1 Agustus, Densus 88 menangkap terduga pelaku berinisial HOK di Batu, Jawa Timur. Kasus ini cukup heboh karena pelaku yang masih berusia 19 tahun berhasil merakit bom menggunakan bahan peledak jenis triaceton triperoxide (TATP). Merupakan jenis bahan peledak yang berbentuk bom kimia dan mempunyai daya ledak yang tinggi. Berdasarkan hasil pendalaman Densus 88, HOK berencana melakukan aksi bom bunuh diri di dua tempat ibadah di Batu.
Lima hari berselang, Densus 88 menangkap dua terduga teroris berinisial RJ dan AM di Jakarta Barat. Keduanya ditangkap karena mengunggah narasi dukungan dan propaganda terhadap ISIS di akun media sosial pribadinya masing-masing. RJ dan AM diketahui merakit bahan peledak, namun tidak menjelaskan bahan peledak apa yang digunakan dan ke mana sasaran penyerangan.
Polisi memastikan kasus penangkapan di Batu dan Jakarta Barat tidak ada kaitannya karena berbeda latar belakang kelompok. HOK merupakan simpatisan Jemaah Islamiyah, sedangkan RJ dan AM merupakan simpatisan ISIS.
Meski tak berkaitan, penangkapan HOK, RJ, dan AM memiliki kesamaan dengan banyaknya pelaku yang ditangkap Densus 88 beberapa tahun terakhir: mereka terpapar propaganda kelompok teroris melalui internet, khususnya media sosial.
Perekrut kelompok teror melakukan kegiatan cuci otak di berbagai platform media sosial agar bersedia melakukan aksi teror sesuai arahan kelompok. Dari situ mereka juga belajar strategi penyerangan serta cara merakit senjata dan bom.
Fenomena ini menunjukkan betapa media sosial yang menjadi rujukan utama banyak orang dalam mengikuti perkembangan dunia ternyata bisa menjadi ruang yang “ampuh” untuk menyebarkan paham radikalisme. Hal ini dikarenakan adanya konsep ruang gema yang bukannya mampu memberikan alternatif pandangan bagi individu, justru dapat membuat individu “terjebak” pada suatu pemahaman tertentu.
Cara kerja ‘ruang gema’
Menurut laporan We Are Social, pada awal tahun 2024, akan ada lima miliar orang di seluruh dunia yang menggunakan media sosial. Sebanyak 61% diantaranya menggunakan media sosial untuk mencari berita dan informasi. Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menyediakan akses cepat dan mudah terhadap berita terkini. Kemudahan tersebut didukung dengan kemampuan mengikuti berbagai sumber informasi secara real-time.
Warga dan wisatawan mancanegara mengikuti kegiatan memperingati 22 tahun tragedi Bom Bali di Monumen Bom Bali, Badung, Bali. Fikri Yusuf/Antara Foto
Ketika individu sudah mengandalkan media sosial tertentu dalam mencari informasi, seringkali individu tersebut dihadapkan pada informasi, ide atau pendapat yang cenderung memperkuat pandangannya sendiri. Kondisi ini sering disebut sebagai ruang gema dan sering terjadi di media sosial atau komunitas online yang eksklusif dan tertutup.
Cass R. Sunstein, Profesor dari Harvard Law School, dalam bukunya yang berjudul “Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media” memaparkan bagaimana echo chamber berdampak pada polarisasi sosial dan politik. Dalam konteks ini, individu cenderung mengabaikan atau menolak informasi yang bertentangan dengan pandangannya, sehingga pemahaman menjadi terbatas dan pandangan semakin terpolarisasi.
Media sosial memiliki teknologi yang disebut algoritma, yang dirancang untuk menampilkan konten yang dianggap relevan bagi pengguna berdasarkan preferensi dan interaksi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan pengguna cenderung melihat pandangan yang serupa dengan keyakinannya, sehingga sudut pandang alternatif terabaikan.
Cara kerja seperti ini memperkuat bias dan mengurangi paparan terhadap informasi yang berbeda, sehingga memperkuat keyakinan dan sering kali mengarah pada polarisasi opini di masyarakat.
Potensi paparan radikalisme di media sosial
Dalam kejahatan terorisme, echo chamber dapat berkontribusi terhadap meningkatnya kesalahan individu dalam menerima informasi, memperkuat radikalisasi dan menurunkan kemampuan individu untuk berpikir kritis atau berdiskusi secara konstruktif dengan pihak yang berbeda pandangan.
Pada tahun 2017, terdapat penelitian terhadap 22.000 akun Twitter yang perilaku media sosialnya terhadap ISIS dianalisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media sosial berperan penting dalam proses radikalisasi dengan menciptakan Echo Chambers yang mendukung konten ekstremisme.
Platform seperti Twitter memberikan peluang bagi kelompok teroris untuk menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru melalui komunitas online yang tertutup dan seragam. Di komunitas-komunitas ini, ide-ide radikal semakin menguat dan berpotensi mengarah pada tindakan kekerasan yang lebih terang-terangan.
Algoritme media sosial semakin memperburuk situasi ini dengan menciptakan lingkungan yang hanya memaparkan individu pada pandangan yang serupa dengan keyakinan mereka. Jika algoritme tersebut menyarankan konten ekstremisme dan radikal, hampir dapat dipastikan bahwa ruang gema yang tercipta akan menyebabkan individu terus terpapar konten serupa, sehingga perspektif alternatif diabaikan.
Echo chamber terbukti turut andil dalam beberapa kasus yang melibatkan terduga teroris. Dalam kurun waktu 2006–2021, telah terjadi 13 aksi teror lone wolf (pelaku tunggal serangan teror tanpa arahan/koordinasi). Dari 13 kasus tersebut, tujuh di antaranya menunjukkan pelaku terpapar propaganda kelompok teror melalui konten media sosial.
Rekomendasi untuk ‘pemangku kepentingan’ yang relevan
Kemudahan mengakses informasi mengenai strategi terorisme, ketidakmampuan menyaring informasi dan minimnya pemikiran kritis dalam menerima konten di media sosial oleh setiap pengguna media sosial ditengarai menjadi faktor pendorong seseorang pada akhirnya nekat melakukan aksi terorisme.
Untuk mengatasi masalah ini, pemangku kepentingan terkait seperti platform media sosial, pemerintah, dan lembaga pendidikan perlu bekerja sama untuk meningkatkan literasi digital.
Media sosial harus mengembangkan algoritma transparan yang menyajikan beragam informasi, tidak hanya berdasarkan preferensi pengguna. Di sisi lain, pemerintah dapat menetapkan peraturan yang mewajibkan platform untuk meminimalkan penyebaran konten berbahaya atau ekstremis dan memastikan keterwakilan berbagai pandangan.
Peraturan ini dapat mencakup kewajiban bagi platform untuk melaporkan langkah-langkah yang mereka ambil dalam menangani konten yang menyesatkan atau mendorong kekerasan, dan pemerintah dapat menjatuhkan sanksi jika platform gagal mematuhi peraturan ini.
Selain itu, lembaga pendidikan juga perlu mengintegrasikan literasi media ke dalam kurikulum agar masyarakat mampu mengenali bias dan mencari informasi dari berbagai sumber terpercaya agar tidak terjebak dalam ruang gema.