Wednesday, February 5, 2025
BerandaPolitikBagaimana arah politik luar negeri Indonesia di bawah Menteri Luar Negeri non-diplomat?

Bagaimana arah politik luar negeri Indonesia di bawah Menteri Luar Negeri non-diplomat?

-

Sejak 20 Oktober 2024, Indonesia akan memasuki masa pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Kabinet baru telah terbentuk – ada sejumlah nama baru dan juga wajah lama.

Salah satu nama baru yang masuk kabinet adalah Sugiono yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu). Dalam menjalankan politik luar negeri, Sugiono dibantu oleh tiga Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu), yakni Anis Matta, Arrmanatha Christiawan Nasir, dan Arif Havas Oegroseno.

Nama Sugiono mendadak menjadi perhatian publik karena ia menjadi Menteri Luar Negeri non-diplomat pertama sejak tahun 2001. Alih-alih berkarir sebagai diplomat, Sugiono merupakan mantan tentara dengan pangkat terakhir Letnan Satu. Pengalaman terakhirnya sebelum menjadi Menteri Luar Negeri adalah sebagai politisi di Partai Gerindra – partai politik yang dipimpin oleh Prabowo.

Meski demikian, Sugiono sebenarnya bukanlah orang pertama di luar karir diplomat yang menduduki posisi menteri luar negeri. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, sejumlah tokoh politik pernah menjabat sebagai menteri luar negeri (tabel 1). Bahkan posisi menteri luar negeri didominasi oleh individu-individu karir non-diplomatik. Sugiono merupakan mantan tentara kedua yang menduduki jabatan menteri luar negeri setelah Syarief Thayeb.

Tabel 1. Daftar Menteri Luar Negeri RI Tahun 1945-2024. Penulis

Tidak banyak yang diketahui mengenai pemikiran Sugiono mengenai politik luar negeri Indonesia. Meski pernah menjabat Wakil Ketua Komisi I DPR RI yang membidangi hubungan luar negeri, Sugiono jarang memberikan pernyataan publik terkait isu internasional dan politik luar negeri Indonesia.

Namun setidaknya ada lima poin yang bisa kita jadikan acuan untuk membaca arah politik luar negeri Indonesia, setidaknya untuk lima tahun ke depan, di bawah kepemimpinan Menteri Luar Negeri Sugiono.

1. Ulur tangan Prabowo Subianto

Latar belakang militer Sugiono tentu akan mempengaruhi fokus kebijakan luar negeri Indonesia. Selain mantan tentara, Sugiono juga dikenal sebagai kader ideologis Prabowo yang memiliki pandangan politik senada dengan mantan pimpinan Kopassus tersebut. Sementara itu, Prabowo dikenal sebagai sosok yang menaruh perhatian besar pada persoalan militer dan keamanan.

Dengan posisi Sugiono sebagai orang kepercayaan Prabowo, kemungkinan besar ia akan menjalankan misi Prabowo yang fokus pada diplomasi dan kerja sama pertahanan, kedaulatan wilayah, dan modernisasi militer.

Penempatan Sugiono sebagai Menlu juga secara tidak langsung memberi sinyal bahwa Prabowo akan “hadir langsung” dalam persoalan hubungan luar negeri. Artinya, gagasan-gagasan Prabowo akan langsung diwujudkan dalam politik luar negeri Indonesia mengingat Sugiono mempunyai pandangan yang sama dan dekat dengan Prabowo. Kemudian, kendali Prabowo terhadap politik luar negeri Indonesia juga akan semakin terasa.

Selain itu, “hadir secara langsung” juga berarti bahwa Prabowo akan terlibat langsung dalam pelaksanaan politik luar negeri, termasuk hadir di forum multilateralisme. Berbeda dengan Joko “Jokowi” Widodo yang tidak tertarik dengan politik luar negeri dan menyerahkannya pada Retno Marsudi. Jokowi juga tak tertarik menghadiri forum internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di sinilah letak perbedaan hubungan Prabowo-Sugiono dan Jokowi-Retno terkait persiapan politik luar negeri. Retno memiliki independensi yang lebih besar dibandingkan Sugiono dalam menentukan arah politik luar negeri.

2. Agak jauh dari Barat

Dalam beberapa kesempatan, Prabowo menunjukkan sikap kritisnya terhadap Barat. Saat berpidato di acara CSIS di Jakarta tahun lalu, misalnya, Prabowo mengkritik standar ganda Barat dalam politik internasional. Sikap Prabowo ini kemungkinan besar akan ditiru Sugiono dalam menentukan arah politik luar negeri Indonesia, khususnya mengenai posisi dan sikap Indonesia di antara dua kekuatan besar Amerika Serikat (AS) dan China.

Lebih lanjut, Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno juga kritis terhadap Barat, khususnya Eropa. Hal ini terlihat dari tulisan Arif di media massa. Salah satunya mengenai peraturan Uni Eropa yang bebas deforestasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia akan agak menjauhkan diri dari Barat.

Arif sendiri bukanlah nama yang asing di kalangan diplomat Indonesia. Pada tahun 2014, Arif memasuki pasar Menlu saat Jokowi pertama kali menjadi Presiden. Namun yang akhirnya terpilih adalah Retno.

Indikator lain yang paling terlihat adalah belakangan ini Prabowo melalui Sugiono ingin membawa Indonesia bergabung dengan BRICS (kelompok negara yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Blok ini disebut sebagai penyeimbang terhadap Barat – atau lebih tepatnya merupakan antitesis dari hegemoni Barat, yakni AS dan sekutunya.

Namun situasinya tidak akan sama dengan politik konfrontatif anti-Barat yang dilancarkan Sukarno pada tahun 1960-an, karena di saat yang sama Prabowo juga berjanji akan menerapkan kebijakan “menjadi tetangga yang baik”.

3. Memperkuat multilateralisme

Sebuah penelitian menyebutkan bilateralisme akan menjadi salah satu ciri politik luar negeri pemerintahan Prabowo. Pandangan tersebut tidak salah jika melihat daftar kunjungan luar negeri Prabowo yang didominasi hubungan bilateral.

Misalnya saja pada akhir Juli lalu, Prabowo mengunjungi empat negara yakni Prancis, Serbia, Türkiye, dan Rusia untuk mempererat hubungan bilateral Indonesia.

Meski demikian, keberadaan Arrmanatha Christiawan Nasir sebagai Wakil Menteri Luar Negeri juga penting untuk diperhatikan.

Arrmanatha merupakan diplomat karir yang pernah bertugas di banyak lembaga multilateral, khususnya PBB. Pengalaman tersebut bisa saja mendorong Arrmanatha memiliki kecenderungan yang cukup kuat terhadap multilateralisme. Tampaknya Arrmanatha berpotensi menyeimbangkan kecenderungan bilateral dalam politik luar negeri Prabowo.

Multilateralisme penting bagi Indonesia karena merupakan salah satu ciri dasar politik luar negeri Indonesia selama ini. Keberhasilan politik luar negeri Indonesia banyak dicapai melalui forum multilateral, seperti Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, ASEAN, dan PBB. Pendekatan multilateral bisa dikatakan merupakan salah satu instrumen soft power Indonesia. Sayangnya, pada masa kepemimpinan Jokowi, diplomasi multilateral Indonesia cenderung terpinggirkan.

4. Memperkuat hubungan dengan dunia Islam

Penunjukan Anis Matta sebagai salah satu Wakil Menteri Luar Negeri diyakini akan membuka peluang mempererat hubungan Indonesia dengan negara-negara Islam.

Terbukanya peluang tersebut diperkuat dengan, pertama, pernyataan Anis bahwa sebagai Wamenlu diminta fokus pada dunia Islam. Kedua, keinginan Prabowo untuk mempererat hubungan diplomatik dengan Türkiye. Ketiga, Indonesia telah lama berupaya meningkatkan investasi negara-negara Timur Tengah ke Indonesia dan memperluas kompetensi teknologi serta pasar produk pertahanan Indonesia melalui kerja sama dengan negara-negara Teluk.

Sejak masa Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Indonesia selalu mengidentifikasi diri sebagai negara dengan karakter Islam moderat sekaligus aktif mempromosikan Islam moderat di ranah global. Memperkuat hubungan dengan negara-negara Islam akan memperkuat peran Indonesia sebagai representasi Islam moderat dan hal ini dapat menjadi kekuatan soft power Indonesia.

Hal penting lainnya adalah Indonesia dapat memanfaatkan penguatan hubungan dengan dunia Islam untuk memperkuat dukungan global terhadap kemerdekaan Palestina.

Selain itu, ada potensi ekonomi yang juga bisa diraih Indonesia jika mendekatkan diri pada negara Islam. Misalnya, ada peluang investasi dari Uni Emirat Arab (PEA/UEA).

5. Pengarusutamaan gender semakin menurun

Sayangnya, Menteri Luar Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri tidak memiliki rekam jejak yang aktif mendorong pengarusutamaan gender. Selain itu, Astacita yang diusung pemerintahan Prabowo juga tidak secara tegas menyebutkan akan melanjutkan pengarusutamaan gender di bidang diplomasi dan kelembagaan Kementerian Luar Negeri. Situasi ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan pengarusutamaan gender dalam ranah diplomasi.

Komitmen Prabowo terhadap pengarusutamaan gender semakin dipertanyakan dengan fakta bahwa dari total 48 menteri di kabinetnya, hanya lima menteri yang perempuan. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibandingkan komposisi menteri perempuan pada era Jokowi yang berjumlah sembilan orang pada kabinet pertama dan enam menteri pada kabinet kedua.

Namun karena selama lima tahun terakhir proses pelembagaan pengarusutamaan gender di Kementerian Luar Negeri terus berjalan, setidaknya masih ada harapan bahwa proses pengarusutamaan gender setidaknya di lembaga ini akan terus berjalan.

Kesimpulannya, politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo akan menunjukkan perubahan. Namun di balik itu, kesinambungan juga akan terlihat karena politik luar negeri selalu mempunyai dua sisi, yaitu perubahan dan kesinambungan.

Artikel terkait

Tetap Terhubung

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Postingan terbaru kami